Sebuah ajakan

Mungkin ini hanyalah sebuah keterpaksaan atau penguatan tekad untuk menulis, setelah beberapa malam yang lalu berbagai macam tema, penokohan, dan plot berkecamuk dalam tidurku. Aku bingung harus melakukan apa. Tepatnya harus menulis apa? Apakah hanya sekedar omong kosong dan bualan tentang keseharianku. Aku rasa mereka tidak perlu mengetahui itu, karena tidak ada yang menarik. Lalu terbesit sebuah tanda tanya besar, apa yang seharusnya ku tulis? Terlalu banyak ide-kah yang membuatku malas untuk menulis, atau ada unsur psikologi lain yang membuat ku harus menulis?

Aku kira aku sudah terlalu pandai dalam menulis. Sejak kelas dua sekolah dasar aku sudah bisa menulis. Mulai dari menulis sesuatu yang sangat sederhana seperi; ini bapak budi, menulis karangan mingguan tentang kegiatan aktifitas di hari libur, sampai ikut-ikutan menulis buku rahasia berwarna merah jambu yang di sisinya tergantung gembok plastik. Entah apa lagi. Memori otakku terlalu sederhana untuk mengingat semua itu.

Lantas sekarang apa yang harus kutulis? Pernahkah kau memikirkan tentang hal ini. Kenapa kita harus menulis? Apa yang harus kita tulis? Dan mengapa kita menulis? Padahal masih banyak pekerjaan lainnya yang dirasakan lebih mengasikkan, seperti jalan-jalan di mall, cuci mata di sore hari sambil menikmati sepiring jagung bakar, atau main games online 12 jam non-stop, yang bisa membuat kulit wajahmu terlihat lebih putih karena pucat.

Aku masih bingung dengan hal itu. Terlalu banyak alasan yang tidak logis. Entah apa yang harus ku jawab nanti, apabila ada yang bertanya; untuk apa kau menulis? Apa sekadar hanya ingin membuktikan bahwa kau seorang laki-laki yang pandai, lalu kau menulis cerpen dan novel. Laki-laki yang romantis, lalu kau menorehkan sajak yang mengepak. Atau sekadar menginginkan bunga-bunga hatimu bermekaran ketika mendapat pujian, “selamat ya, tulisanmu bagus,” ah… kata-kata itu sungguh membuatku kikuk. Membuat batinku meronta-ronta mencari alasan yang tepat untuk menulis. Apa aku harus mengatakan bahwa aku menulis karena aku menginginkannya (seperti yang dikatakan beberapa penulis lain yang sudah terkenal), atau mungkin harus ku katakan bahwa aku menulis karena bakat terpendam yang sudah kumiliki sejak aku masih orok (ah… alasan ini terlalu absurb), ataukah aku menulis karena mendapatkan ilham dalam suatu mimpi (Yang ini lebih mustahil, aku bukan nabi), lalu apa alasan yang tepat untukku menulis? Untukmu? Untuk mereka? Untuk kita? Apa ya?